HUJAN & KAMPUNGKU ADALAH RINDUKU
Sekian tahun aku pergi jauh darimu, bukan karena saya membencimu, bukan juka karena saya tidak menyukaimu, saya menjauh karena tuntutan hidup. Dan sekian tahun saya hidup dalam rutinitas metropolitan membuat saya cukup sadar, bahwa ada kalanya saya harus memutuskan untuk menarik diri dari riuh rendah dunia nyata dan dunia maya saya, mengambil waktu sejenak, meninggalkan hiruk-pikuk kota Metropolitan beserta keruwetannya, mengikuti seliran angin menerpa pepohonan membelah hutan, seiring gulingan-gulingan roda mobil Toyota keluaran tahun 90an membawaku ke desaku yang sarat dengan rasa, menata pikiran serta hati dengan menjalani ritme hidup yang pelan dengan penuh kesadaran dan akupun telah berada di depan pekarangan ibuku, sungguh .... tak terlukiskan perasaanku saat ini.
Mengetuk daun pintu rumah ibuku adalah bagaikan bom buatku, bom kesenangan, membayangkan raut wajah ibuku membuka pintu rasanya bertahun lamanya, tak sanggup aku menungguh ingin menyaksikan raut wajah di balik pintu.
Tok...tok...tok..k...k...ketukanku dibarengi panggilanku “ibu...ibu..ibu..!” Dan tanpa suara pintu dihadapanku terbuka lebar, kulihat banyangan dibalik pintu, bayangan tubuh ringkih dan mulai menipis dengan raut dan gurat wajah tuanya tidak bisa menyembunyikan gurat-gurat kebahagiaan ... tersenyum, lalu senyumannya semakin lebar ketikan alam sadarnya menyadari bawah yang sedang berdiri di hadapannya adalah putrinya, putri keduanya dan tanpa kusadari aku telah tenggelam dalam pelukan tubuhnya yang kian lemah di makan umur.
Menyadari keterharuannya, ibuku cepat melepaskan dekapannya lalu melangkah menuju meja kecil di pojok ruangan meraih kaleng dan cangkir,, sendok lalu meraih termos air di pojok meja sambil menuangkannya kedalam cangkir di hadapannya .. hanya dalam hitungan detik aroma kopi khas kopi Toraja hasil bumi kampungku yang selalu menjadi sajian andalan ibu saya yang telah bertahun-tahun aku pikirkan sudah memenuhi ruangan, cangkir berisi kopipun sudah bertengger manis di dipan dekat tempat duduk saya.
Kami bedua semakin tenggelam dalam cerita sambil menikalamti kopi panas buatan ibu dan menyaksikan derai hujan dari balik jendela, memandang jauh ke selah bukit menyaksikan awan semakin tebal, rasa dingin semankin menusuk pori-poriku dan betapa saya merindukan suasana ini, suasana dimana kami masih kecil dulu, kami 7 saudara di besarkan di desa ini penuh cerita lucu, perjuangan dan juga sedih...
Aku terus menyaksikan aliran air hutan di ujung atap dari balik jendela rumah ibuku, saya tersenyum-senyum sesekali tertawa kecil mengikat kejadian-kejadian lucu dimasa kecil saya bersama ke 6 saudara saya dan ternyata masa itulah bagian penting dari rinduku.
YOU’RE THE COLOR OF MY LIFES - By : Cancerina Tanan
Komentar
Posting Komentar